Daán yahya/Republika

Wakaf Orang Aceh di Tanah Suci

Habib Bugak Asyi menjadi contoh kesuksesan pengelolaan dana wakaf yang menguntungkan jamaah haji.

Oleh: Hasanul Rizqa

Wakaf yang dilakukan Habib Bugak Asyi lebih dari dua abad silam membuahkan banyak manfaat. Keberkahan terutama dirasakan jamaah haji Indonesia asal Aceh. Sebab, mereka-lah yang menjadi sasaran amal jariah ini.

 

Seperti dilansir dari laman resmi Kemenag RI, awal mula wakaf ini terjadi pada tahun 1800-an. Habib Bugak Asyi yang ketika itu masih berada di Aceh menyuarakan gagasan untuk mengumpulkan uang dari para dermawan dan Muslimin Tanah Rencong. Tujuannya ialah, dana yang terhimpun itu bisa digunakan untuk membeli tanah di Makkah yang kemudian diwakafkan kepada jamaah haji.

 

Tidak sekadar berusul, Habib Bugak Asyi pun mengeluarkan dana dari kantongnya sendiri. Kemudian, berangkatlah ulama keturunan Rasulullah SAW ini ke Tanah Suci.

 

Pada abad ke-19 M, perjalanan haji dilakukan menggunakan kapal laut. Durasi perjalanan memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Bahkan, ada pula yang sampai tahunan.

 

Karena itu, wajarlah bila banyak jamaah dari Nusantara yang tidak langsung pulang begitu usai musim haji. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian menetap di Arab. Jazirah, termasuk kawasan Haramain, ketika itu berada di bawah kendali Turki Utsmaniyah.

 

Begitu tuntas berhaji, Habib Bugak Asyi pun menunaikan amanah dari orang-orang Aceh—dan dirinya sendiri—yang telah menitipkan amanah uang. Dengan dana tersebut, ia membeli sebidang tanah yang lokasinya kala itu persis di samping Masjidil Haram.

 

Di atas tanah itu didirikan penginapan yang disebut Baitul Asyi untuk menampung jamaah asal Aceh. Dengan demikian, mereka tak lagi bingung mencari tempat tinggal selama berada di Makkah. Ini sungguh-sungguh solusi, khususnya bagi yang kehabisan bekal dalam perjalanan ibadah.

 

Sementara itu, memasuki paruh pertama abad ke-20 situasi Arab berganti. Kekhalifahan Turki Utsmaniyah terguncang dan bahkan kolaps pada 1920-an. Setelah melalui dinamika, Jazirah Arab pun dikuasai Dinasti Saudi.

Salah satu aset Baitul Asyi Wakaf Habib Bugak dalam bentuk hotel berdekatan dengan Zamzam Tower Masjidil Haram di Makkah, Arab Saudi. | dok mch

Pemerintah Saudi kala itu melakukan penataan serta perapian administrasi. Setiap tanah, termasuk tanah wakaf, harus ada sosok penanggung jawabnya. Maka, para dermawan Aceh yang telah ikut menyumbang dana untuk tanah wakaf itu kemudian bersepakat, Habib Bugak menjadi penanggung jawab dari tanah itu.

 

Mulanya, sang alim sempat menolak. Sebab, ada kekhawatiran bahwa kelak kebermanfaatan—atau bahkan kepemilikan—tanah wakaf ini berpindah ke keluarga atau anak keturunannya. Dengan tegas, ia menyatakan bahwa jangan sampai manfaat wakaf ini bergeser dari kepentingan jamaah Aceh.

 

Akhirnya, musyawarah pun dilakukan lagi. Tetap saja, para dermawan Aceh yang telah menyumbang dana ingin agar penanggung jawab tanah wakaf itu adalah Habib Bugak Asyi. Karena itu, bersedialah sang alim bahwa namanya dipakai sebagai sosok yang bertanggung jawab.

 

Sebagai jalan tengah, Habib Bugak Asyi menyatakan ikrar wakaf yang disetujui oleh para dermawan itu seluruhnya. Dengan ikrar yang tertulis itu, kebermanfaatan wakaf tersebut menjadi jelas batas-batasnya dan mengikat—bahkan hingga detik ini.

 

Berikut ini adalah teks ikrar Habib Bugak Asyi, selaku penanggung jawab wakaf tersebut. Kutipan ikrar dinukil dari biografi Habib Adurrahman bin Alwi al-Habsyi, buku yang juga hasil kajian bersama Prof Dr Syahrizal Abbas, Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad PhD, Dr Munawar A Djalil, Dr Khairuddin, dan Ir Sulaiman AW MP.

 

“Rumah tersebut (Baitul Aysi) dijadikan tempat tinggal jamaah haji asal Aceh yang datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan juga tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Makkah.

 

Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Makkah untuk haji, maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar Jawi.

 

Sekiranya karena sesuatu sebab pelajar Jawi pun tidak ada lagi yang belajar di Makkah, maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Makkah yang belajar di Masjidil Haram.

Direktur Bina Haji Ditjen PHU Kemenag RI, Arsad Hidayat, bersama PPIH Arab Saudi, yang berstatus mahasiswa di sela-sela penyerahan wakaf Habib Bugak Asyi di Kantor Baitul Asyi. | dok mch

Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga, maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjidil Haram untuk membiayai keperluan Masjidil Haram.”

 

Setelah penemuan sumur-sumur minyak bumi, Arab Saudi kian memiliki banyak dana untuk membangun banyak fasilitas umum. Kemudian, Kerajaan ini pun hendak memulai renovasi kawasan Tanah Suci secara besar-besaran. Perluasan menjadi salah satu target yang akan segera dituntaskan karena semakin banyaknya jumlah jamaah tiap musim haji.

 

Saat Masjidil Haram hendak diperluas, Baitul Asyi pun ikut terkena. Menurut rencana pemerintah setempat, di atas tanah wakaf ini akan dibangun perluasan lintasan tawaf. Dengan dana yang diperoleh sebagai ganti rugi dari pihak Saudi, nazir wakaf tersebut lalu membeli dua bidang tanah di kawasan yang berjarak sekira 500 meter dari Masjidil Haram.

 

Di atas tanah itu, dibangunlah hotel oleh pengusaha dengan sistem bagi hasil. Dari situlah, 'bonus' untuk jamaah Aceh mengalir tiap musim haji. Nominalnya cukup besar.

 

Pada 2023, misalnya, Nazir Baitul Asyi di Makkah telah menyalurkan lebih dari Rp 370 miliar dana wakaf untuk jamaah haji asal Aceh. Setiap jamaah haji asal Tanah Rencong pada tahun lalu itu mendapatkan Rp 5,9 juta. Dana diberikan dalam bentuk mata uang Arab Saudi sebesar 1.500 riyal.

 

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, penyaluran dana wakaf tersebut dipimpin Nazir Wakaf Habib Bugak Asyi. Kantornya terletak di kawasan Bakhutmah, Wilayah Aziziyah, Makkah, Arab Saudi.

 

Amanah ini telah rutin dilakukan tiap musim haji sejak 18 tahun yang lalu, tepatnya pada 2016. Dana Baitul Asyi yang diterima umat Islam ketika berhaji merupakan kompensasi dari sejumlah aset wakaf Habib Bugak Asyi, termasuk Hotel Al Massa Grand, Hotel Elaf Al Masyair, kantor di Wilayah Aziziyah Syimaliyah, hotel di Aziziyah Junubiyah, serta gedung lima lantai di Syaukiah.

makam Habib Bugak di Aceh. | DOK NU

Contoh sukses

 

Syekh Habib Abdurrahman al-Habsyi atau Habib Bugak Asyi adalah satu contoh "langka" tentang kesuksesan wakaf yang dilakukan oleh orang-orang luar Arab di Tanah Suci. Melihat pada sejarahnya, ia tidaklah sendirian, melainkan sebagai representasi dari para wakif dari Aceh.

 

Pada abad ke-19, Habib Bugak menjadi penanggung jawab aset wakaf yang dimiliki sejumlah dermawan Negeri Serambi Makkah. Aset yang dimaksud mewujud pada sebidang tanah yang lokasinya dekat dengan Masjidil Haram saat itu. Sebutannya, Baitul Asyi. Fungsinya adalah untuk menampung jamaah asal Aceh agar mereka tak lagi bingung mencari tempat tinggal selama musim haji atau berada di Makkah.

 

Baitul Asyi kemudian terimbas kebijakan Arab Saudi yang memperluas area Masjidil Haram. Uang kompensasi yang diberikan pemerintah setempat itu lalu sepenuhnya menjadi aset wakaf lagi, yang hingga kini terus membuahkan manfaat bagi jamaah haji asal Aceh.

 

Sikap amanah dan profesionalisme merupakan beberapa faktor di balik keberlanjutan (sustainability) wakaf Baitul Asyi. Ia adalah kelanjutan dari tradisi fasilitas-fasilitas yang difungsikan akomodasi untuk para tamu Allah, yakni zuqaq atau rubath.

 

Muhammad Subarkah dalam bukunya, Tawaf Bersama Rembulan, menuturkan, di dua kota suci pun terdapat sejumlah zuqaq atau rubath yang dahulu dimanfaatkan para peziarah dari Nusantara. Para warga setempat menyebutnya, Rubath Jawi. Ini merujuk pada al-Jawiyyin atau “orang Jawi”, yang merupakan istilah untuk orang-orang Asia tenggara yang bermukim di Makkah dan Madinah.

 

Hebatnya lagi, sejumlah bangunan rubath di kota suci dibangun oleh orang Nusantara sendiri. Hal ini wajar adanya. Sebab, umumnya yang bisa naik haji adalah orang-orang kaya atau memiliki simpanan dana lebih dari mencukupi kebutuhannya sendiri selama perjalanan.

 

Sayangnya, banyak rubath yang kini hanya tinggal kenangan. Subarkah dalam memoar hajinya itu menuturkan kesaksian dari Khudri, seorang berdarah Indonesia yang lebih dari tiga dekade menetap di Arab Saudi. Lelaki itu pun merupakan keturunan ulama besar Sumatra Selatan dari abad silam yang pernah tinggal di Makkah, Syekh Abdul Samad al-Palimbani.

 

Menurut Khudri, Rubath Jawi kini sudah mewujud sebuah gang di Makkah. Sesungguhnya, lanjut dia, bila ditelusuri banyak sekali ikatan emosional antara orang Indonesia dan kawasan Makkah.

 

Bahkan, harap diketahui hingga kini banyak sekali tanah wakaf milik para leluhur orang Indonesia yang menjadi kawasan Masjidil Haram. Lahan tanah yang kini berdiri Hotel Daarut Tauhiid, Grand  Zamzam, Hotel Hilton, dan pelataran Masjidil Haram sekalipun, sebenarnya banyak merupakan lahan wakaf orang Indonesia.

 

“Ingat, dahulu yang datang ke Makkah adalah orang-orang yang benar-benar kaya. Jadi, jangan heran kalau mereka punya lahan di sekitar Ka'bah. Tapi, sayang pihak ahli warisnya tak jelas lagi karena tanah itu kemudian diwakafkan ke Masjidil Haram,” tulis Subarkah, menirukan perkataan Khudri.

 

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sempat mencari anak keturunan orang Indonesia yang bernama Fatimah. Rencananya, orang yang dicari-cari itu akan mendapat ganti rugi karena tanah wakaf leluhurnya dipakai untuk pelebaran pelataran Masjidil Haram dan Hotel Grand Zamzam. "Sayang, (sosok keturunan Fatimah) tak ketemu, padahal jumlah ganti ruginya sangat besar," ujar Khudri.

Syariat tentang wakaf bermula dua tahun sejak Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah.

Wakaf dalam sejarah

 

Wakaf merupakan salah satu ibadah sunah dalam ajaran Islam. Buku Fiqih Wakaf (2003) terbitan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama menerangkan seluk-beluk amalan tersebut.

 

Secara kebahasaan, wakaf berasal dari kata bahasa Arab, waqf, yang berarti ‘menahan’ atau ‘berhenti.’ Para ahli fikih memberikan berbagai definisi tentang wakaf dalam konteks syariat.

 

Sebagai contoh, Imam Abu Hanifah yang memandang wakaf sebagai ibadah “menahan suatu benda yang menurut syariat tetap milik si wakif—orang yang berwakaf—dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan.” Sementara itu, mazhab Syafii dan Hambali berpendapat, “wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif setelah sempurna prosedur perwakafan.”

 

Seorang wakif tidak dapat melarang penyaluran manfaat harta yang sudah diwakafkannya kepada orang-orang yang diberi wakaf (mauquf ‘alaih). Kalau sampai dia melarangnya, hakim dapat memaksanya agar memberikan manfaat harta itu kepada mauquf ‘alaih.

 

Karena itu, Imam Syafii mendefinisikan wakaf sebagai “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan sosial.”

 

Pengelola atau wazir wakaf tidak dilarang untuk memperoleh hasil dari wakaf yang diamanahkan kepadanya, asalkan dengan cara-cara yang baik. Demikian pula, tidak ada maksud darinya sama sekali untuk menumpuk-numpuk harta.

 

Dalam sejarah, syariat tentang wakaf bermula dua tahun sejak Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah—kota yang dahulu bernama Yastrib. Ada dua pendapat tentang siapa yang pertama kali berwakaf.

 

Sebagian ulama mengatakan, Rasulullah SAW adalah sosok wakif pertama. Beliau mewakafkan sebidang tanah miliknya untuk dibangun masjid. Keterangan itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Sa’ad bin Muad.

DOK KEMENAG

Ibnu Sa’ad berkata, “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam. Orang Muhajirin mengatakan, (yang pertama) adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Anshar mengatakan, adalah wakaf Rasulullah SAW.”

 

Adapun pendapat yang kedua menyatakan, Umar bin Khattab merupakan sosok wakif terawal. Itu berdasarkan pada hadis yang cukup panjang, sebagaimana diriwayatkan dari Imam Muslim yang sanadnya sampai pada Ibnu Umar.

 

Dalam hadis tersebut, disebutkan bahwa al-Faruq meminta petunjuk Nabi SAW tentang tanah miliknya di Khaibar. Rasul SAW pun bersabda, “Bila engkau (Umar) suka, engkau tahan (pokoknya) tanah itu dan sedekahkan hasilnya.”

 

Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, kaum Muslimin terus menghidupkan wakaf. Dalam masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, misalnya, makin banyak orang berbondong-bondong mewakafkan hartanya.

 

Para penerima manfaatnya tidak hanya berasal dari kalangan fakir miskin. Sebab, wakaf sudah menjadi sebuah modal yang sangat bisa diandalkan, misalnya, untuk membangun lembaga-lembaga pendidikan. Termasuk di sini, membayar gaji para guru dan stafnya, menyediakan beasiswa bagi para pelajar, serta mendirikan perpustakaan.

 

Rumah-rumah sakit pun dibangun di berbagai kota dengan dana wakaf. Semua biaya operasional lembaga pelayanan kesehatan itu ditanggung dari dana wakaf. Gaji dokter, perawat, hingga pasokan obat-obatan ditanggung oleh dana wakaf. Alhasil, rakyat miskin sekalipun bisa mendapatkan pelayanan yang prima secara cuma-cuma.

 

Wakaf mula-mula disemarakkan oleh orang per orang. Para individu ini ingin berbuat baik dengan harta kekayaan yang dimilikinya sehingga lebih bermaslahat bagi kaum Muslimin.

 

Melihat besarnya antusiasme orang-orang terhadap wakaf, pemerintah daulah Islam pun berinisiatif mengatur perwakafan agar tumbuh dan berkembang dengan lebih baik. Maka, dibangunlah lembaga yang mengatur wakaf.

 

Hingga abad ke-13, dinasti-dinasti Islam menerapkan pelbagai kebijakan untuk menggenjot perwakafan di negeri masing-masing. Seluruhnya disatukan oleh syariat dan semangat yang sama, yakni mewujudkan “baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.”

top